ketahanan nasional indonesia


KETAHANAN NASIONAL INDONESIA


Negara Indonesia dibentuk dalam kerangka mencapai tujuan nasional Indonesia Merdeka yakni sebagaimana tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, yaitu: melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Hal tersebut tentunya harus dimaknai bahwa keberhasilan bangsa Indonesia sebagai suatu negara akan diukur dari seberapa jauh tingkat kemampuan Pemerintah bersama rakyatnya mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, aman, adil dan makmur. Untuk mencapai tujuan tersebut, pengorganisasian seluruh rakyat dan segala sumber daya yang tersedia amat penting dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Dalam hal pengelolaan organisasi negara inilah, faktor kepemimpinan nasional amat menentukan.
                              
Limabelas tahun hampir tuntas sudah Indonesia menjalani babak baru pasca Orde Baru, yang kita sebut Orde Reformasi. Perubahan demi perubahan menjadi fenomena bangsa kita sejak kejatuhan Soeharto hingga memasuki masa tujuh-delapan tahun kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat ini. Pada kurun waktu empatbelas tahun itu sesungguhnya rakyat sudah semestinya dapat menikmati hasil dari perubahan yang menjadi tuntutan jutaan mahasiswa dan masyarakat di akhir rezim Orde Baru tiga-belasan lalu. Namun, kenyataan mengindikasikan seakan-akan pemerintah Indonesia belum mampu membawa rakyatnya kepada kondisi yang diidamkan tersebut. Berbagai kasus yang terjadi silih berganti di hampir seluruh pelosok tanah air menjadi pertanda bahwa tujuan negara sebagaimana tercantum dalam Mukadimah Undang-Undang Dasar 1945 belum tercapai, bahkan seakan tiada akan terwujud.
Irman Gusman mencatat bahwa belakangan ini terdapat berbagai persoalan yang menjadi menu keseharian rakyat Indonesia, mulai dari masalah makelar kasus, manipulasi pertanahan dan kisruh agraria di mana-mana, penegakan hukum yang hanya berpihak kepada kelompok tertentu, hingga penggelapan pajak triliunan rupiah adalah cerita miris yang menghimpit setiap nurani kita. Masih banyak kisah pilu lainnya yang mendera bangsa ini. Pemandangan penggusuran paksa, konflik-konflik bernuansa SARA, tawuran antar desa, antar sekolah, antar kampus, antar komunitas hingga ke persoalan separitisme Organisasi Papua Merdeka, Republik Maluku Selatan, dan lain-lain, masih menghiasi layar media massa kita hari-hari ini. Di lain waktu kita juga disugihi informasi tentang hingar-bingarnya pola hidup hedonis-materialistis dari sebagian masyarakat di tataran elit yang lebih beruntung nasibnya secara materil dari kebanyakan rakyat di negara ini. Belum lagi jika kita lihat secara vulgar strategi berpolitik para elit politik bangsa yang hampir seluruhnya menerapkan pola politik uang, sebuah kehidupan politik yang oleh sebagian pihak menyebutnya sebagai sistem penerapan demokrasi yang tidak manusiawi. Negeri ini sedang mengalami kerapuhan di segala bidang yang menjurus kepada perpecahan dan disintegrasi bangsa. (Irman Gusman, 2011).
            Badan dan institusi negara bermunculan dibentuk pemerintah yang ditujukan untuk memperlancar penuntasan masalah dan berbagai persoalan kebangsaan dan kenegaraan yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini. Komisi Pemberantasan Korupsi misalnya, diadakan sejak pemerintahan Presiden Megawati Sukarno Putri untuk menangani perkara korupsi yang dikategorikan sebagai the extra-ordinary crime, yang telah menggurita secara luar biasa di berbagai lapisan masyarakat kita. Sebagaimana yang diketahui bersama, hingga saat ini KPK belum mampu menuntaskan kasus korupsi yang melibatkan elite partai politik, pejabat tinggi negara, maupun birokrat. Pada tataran yang lebih penting, mendesak, dan amat fundamental bagi rakyat, yakni menyangkut kehidupan sehari-hari rakyat, terlihat bahwa pemerintah masih kesulitan mengendalikan kenaikan harga bahan pokok yang semakin hari semakin membumbung tak terjangkau oleh rakyat kebanyakan. Pangan seakan menjadi barang langka dan sulit diakses oleh masyarakat. Ketahanan pangan menjadi pertaruhan bagi kelangsungan hidup rakyat, yang sekaligus juga menjadi salah satu indikator penentu kuat-lemahnya ketahanan nasional Indonesia.

Ketahanan Nasional dan Efektivitas Kepemimpinan Nasional

Ketahanan Nasional Indonesia adalah kondisi dinamik bangsa Indonesia yang meliputi segenap aspek kehidupan nasional yang terintegrasi, berisi keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional, dalam menghadapi dan mengatasi segala tantangan, ancaman, hambatan dan gangguan baik yang datang dari luar maupun dari dalam untuk menjamin identitas, integritas, kelangsungan hidup bangsa dan negara serta perjuangan mencapai tujuan nasionalnya.  Hakikat Ketahanan Nasional Indonesia adalah keuletan dan ketangguhan bangsa yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional untuk dapat menjamin kelangsungan hidup bangsa dan negara dalam mencapai tujuan nasional. Pendekatan yang semestinya ditempuh para pemimpin nasional dalam meningkatkan dan mempertahankan ketahanan nasional adalah dengan kebijakan pemenuhan kebutuhan hidup rakyat melalui pembangunan dalam rangka mencapai tingkat kesejahteraan ekonomi, pendidikan berkualitas bagi seluruh rakyat, serta kesehatan dan keamaan umum. Pada kondisi terpenuhinya hajat hidup orang banyak dengan mudah dan tersedia terjangkau setiap saat di semua tempat di nusantara, maka nasionalisme bangsa akan semakin menguat yang selanjutnya akan menjadi modal terbesar dalam mengeliminir keinginan disintegrasi bangsa.

Bercermin dari kondisi nyata di masyarakat Indonesia saat ini sebagaimana telah dituliskan di atas, dikaitkan dengan teori efektivitas kepemimpinan yang diuraikan di awal tadi, maka dengan sangat jelas terlihat bahwa pelaksanaan amanah rakyat oleh para pemimpin nasional, mulai dari tingkat pusat hingga ke daerah-daerah, dapat dikategorikan belum mencapai efektivitas yang baik. Sikap dan perilaku kepemimpinan nasional yang kurang menunjukkan komitmen dan perhatian terhadap rakyat kecil dan termarginalkan oleh sistem kapitalisme, pendidikan yang dibiayai oleh 20% APBN namun semakin tidak terjangkau oleh rakyat pinggiran, akses kesehatan yang mahal, serta harga bahan pokok kebutuhan sehari-hari yang amat menyengsarakan karena tidak mampu dikendalikan oleh pemerintah, merupakan sebagian dari contoh potret ketidak-efektifan kepemimpinan nasional. Kurangnya komunikasi dan sinergitas antar elemen dalam sistem manajemen pemerintahan nasional yang mengindikasikan ketidak-terlibatan pihak-pihak terkait dalam pengambilan keputusan, yang pada intinya adalah penghindaran atas sikap bertanggung jawab terhadap tugas dan tanggung jawab yang diberikan serta egoisme sektoral, juga menjadi contoh lainnya dari kurang efektifnya kepemimpinan nasional Indonesia.

Sikap emosional, irasional dan perilaku temperamental sering menjadi tontonan “unik” yang diperlihatkan para pemimpin nasional di negeri ini. Hal tersebut berdampak kepada munculnya komunikasi yang tidak jelas dan membingungkan sehingga bermuara kepada gagalnya pencapaian kesepahaman dan kesepakatan untuk kepentingan bangsa dan negara. Selain itu, seringnya pemimpin nasional menunjukkan keengganan untuk menghadapi perbedaan pendapat, apalagi konflik, dan bersikap tertutup terhadap kinerja pelayanan publik yang sudah dilaksanakan, mencerminkan ketidak-mampuan kepemimpinan nasional menjalankan fungsinya sebagai pemimpin nasional. Tambahan lagi, ketidak-becusan para pimpinan nasional untuk memperbaiki dan meningkatkan standar dan kinerja pemerintahan dalam melayani rakyat yang diakibatkan oleh ketidak-siapan menjadi pemimpin nasional serta perencaan yang kurang matang sebagai dampak sistim rekrutmen pemimpin melalui politik transaksional, menjadikan efektivitas kepemimpinan nasional bertambah buruk.

Kondisi Ideal dan Upaya
           
Kondisi-kondisi kepempimpinan seperti ini sesungguhnya amat rawan bagi pencapaian tingkat ketahanan nasional yang baik serta mempertahankannya. Oleh karena itu, tidak heran jika keinginan melepaskan diri dari NKRI akan tetap subur di tengah masyakarat Indonesia, khususnya bagi mereka yang secara ekonomi-politik termarginalkan. Kasus-kasus perbatasan dan gerakan-gerakan disintegrasi di beberapa wilayah dan di kota-kota – semisal NII, JI, Papua Merdeka, dan sebagainya – adalah sedikit contoh dari fenomena nyata di depan mata saat ini. Jika pola kepemimpinan nasional yang kurang efektif ini tidak diperbaiki dengan segera, bukan tidak mungkin kondisi tersebut akan dimanfaatkan oleh pihak-pihak berkepentingan baik di dalam negeri maupun luar negeri untuk memporak-porandakan keutuhan NKRI.

Memimpin dan mengelola Indonesia itu tidak mudah, namun tidak juga sulit. Rakyat pada hakekatnya hanya butuh tiga hal utama dalam hidupnya di negeri yang subur-makmur ini: kesejahteraan (ekonomi-sosial), kesehatan, dan pendidikan. Jika kepemimpinan nasional mampu menyediakan pelayanan kepada rakyat dan fokus pada tiga masalah pokok tersebut, maka akan berdampak kepada semakin tingginya tingkat cinta tanah air dan rela berkorban demi NKRI dari bangsa di seluruh pelosok tanah air, yang tentunya berkorelasi langsung dengan peningkatan dan stabilitas ketahanan nasional. Bagaimana hal ini bisa dilakukan? Para pemimpin nasional perlu menunjukkan perhatian sungguh-sungguh terhadap kebutuhan rakyatnya, selalu berkonsultasi dan melibatkan semua pihak terkait dalam pengambilan keputusan melalui sebuah sinergitas dan komunikasi yang baik antar elemen, serta siap senantiasa menghadapi permasalahan dengan penuh tanggung-jawab. Pemimpin nasional juga harus mendorong semua pihak (sektor swasta dan masyarakat) untuk terlibat dan bekerja atas inisiatifnya masing-masing dalam gerak-dinamis pembangunan bangsa, memberi penghargaan atas hasil karya dan kerja keras yang sudah dilakukan, serta memelihara komitmen terhadap konsekwensi sebagai pemimpin nasional. Penting sekali juga untuk senantiasa mengupayakan peningkatan kinerja kepemimpinan nasional, baik untuk diri sendiri sang pemimpin maupun untuk kinerja organisasi (termasuk sub sistem)  bangsa dan negara yang dipimpinnya. Hal itu akan memberikan dorongan yang kuat tidak hanya bagi pencapaian tujuan negara dengan lebih cepat tetapi juga dengan hasil yang berkualitas tinggi.

Sifat jujur, terbuka, dan komunikasi langsung apa adanya, merupakan beberapa karakter yang harus dimiliki oleh kepemimpinan nasional yang efektif dan efisien dalam berbagai hal. Memelihara semangat yang tinggi, dan kegemaran untuk menyampaikan pertanggung-jawaban kepada rakyat tentang apa yang sudah dilakukan secara periodik, transparan dan akuntabel, adalah dua unsur penting yang perlu dibudayakan oleh kepemimpinan nasional. Pada lingkup masing-masing, pemimpin nasional perlu mengimplementasikan kegiatan mendidik, melatih dan mengembangkan kemandirian anggota masyarakat sesuai dengan pengalaman dan potensi mereka, yang tentu saja tidak perlu dengan ceramah teoritis belaka namun terpenting menunjukkan perilaku yang patut dicontoh. Senantiasa mempertimbangkan akibat sebelum bertindak adalah salah satu kata kunci penting bagi kesuksesan kepemimpinan nasional di setiap masa.
  
PENUTUP

1. Kesimpulan

Memantapkan ketahanan nasional merupakan salah satu prioritas utama dalam pembangunan, tidak hanya bagi Indonesia tetapi juga bagi semua negara di dunia ini. Hal tersebut terutama disebabkan oleh satu prinsip pokok bahwa tanpa ketahanan nasional, suatu negara akan menghadapi situasi sulit, yakni distegrasi bangsa. Untuk mencapai tingkat ketahanan nasional yang memadai, sekaligus mempertahankan stabilitas ketahanan nasional tersebut dibutuhkan kepempimpinan nasional yang kuat dan efektif. Kepemimpinan Nasional dan Ketahanan Nasional adalah dua aspek yang tidak hanya saling terkait tapi juga saling mempengaruhi satu sama lain. Kepemimpinan nasional yang kuat pada satu sisi akan berdampak kepada meningkatnya ketahanan nasional, sementara itu ketahanan nasional yang mantap pada sisi lain akan makin memperkokoh kepemimpinan nasional suatu bangsa. Berdasarkan fenomena lapangan yang ada di masyarakat, dapat dikatakan bahwa kepemimpinan nasional di era reformasi ini relatif kurang efektif dikaitkan dengan peningkatan ketahanan nasional. Hal itu dapat terlihat dari masih adanya dinamika disintegrasi yang muncul akibat masih tingginya angka kemiskinan, kemelaratan, dan kebodohan di masyarakat Indonesia.

2. Saran

Untuk mengantisipasi kondisi yang lebih buruk terhadap ketahanan nasional Indonesia, disarankan agar dilakukan revitalisasi sistem kepemimpinan nasional yang baik dengan sinergitas dan komunikasi-koordinatif antar semua elemen bangsa, serta perlunya pendidikan karakter kepemimpinan nasional yang efektif bagi para pemimpin dan calon pemimpin nasional.



               http://adhisuryaperdana.com/ketahanan-nasional.htm

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KASUS TEKNIK INDUSTRI

Cerita Sukses Sunny Kamengmau

Analisis pemasalahan Hukum industri di Indonesia